Selasa, 15 Maret 2011

Mengapa Reaktor Nuklir Fukushima Meledak??

İmage
Pembangkit listrik nuklir di Fukushima Jepang yang meledak


Tanggal 11 Maret 2011 terjadi gempa berskala besar dan tsunami yang melanda Jepang. Sehari kemudian terjadi ledakan pada PLTN Fukushima 1. Belum jelas apa yang terjadi sesungguhnya di sana. Berikut ini adalah hasil analisis sementara oleh Dr. Alexander Agung, ST., M.Sc (staf pengajar Jurusan Teknik Fisika yang saat ini turut dalam pengkajian keselamatan PLTN di Swedia) berdasarkan info yang diperoleh sampai saat ini dan kemungkinan bisa berubah seiring waktu.


Fukushima I unit 1 adalah PLTN bertipe BWR (Boiling Water Reactor) dengan daya listrik sebesar 460 MW (daya termal 1553 MW, dengan asumsi efisiensi termal 30%). Dibangun akhir tahun 60-an dan mulai mulai beroperasi tahun 1970.


Pada reaktor nuklir, energi dihasilkan dari reaksi fisi atau pembelahan inti atom. Ketika proses fisi berlangsung, dihasilkan pula produk-produk yang bersifat radioaktif dan oleh karenanya juga meluruh (berubah menjadi inti atom lain dengan memancarkan energi). Dengan demikian energi total yang terdapat pada reaktor nuklir adalah jumlahan dari energi fisi dan energi peluruhan radioaktif (sebenarnya masih ada juga energi dari bahan struktur, tetapi jumlahnya kecil).


Ketika reaktor dioperasikan dalam waktu yang lama, terjadi kondisi setimbang (equilibrium), di mana energi dari peluruhan radioaktif menyumbang sekitar 6-7% dari total energi yang ada pada reaktor. Besar atau kecilnya energi yang dihasilkan dari reaksi fisi ditentukan dari banyak atau sedikitnya proses fisi yang terjadi, dan untuk mengendalikannya diperlukan batang pengendali (control rods). Jika semua batang kendali dimasukkan ke dalam reaktor, reaksi fisi akan berhenti berlangsung dan energi fisi tidak diproduksi. Dengan kata lain, reaktor menjadi padam (shutdown). Akan tetapi, perlu diingat, selain energi fisi masih terdapat energi peluruhan. Besarnya sekitar 6-7% di saat reaktor padam, akan tetapi besarnya akan berkurang seiring dengan waktu.




Salah satu perhatian utama pada aspek keselamatan nuklir adalah bagaimana menjaga agar bahan radioaktif tidak lolos ke lingkungan. Untuk itu, ada jargon yang terkenal yaitu 3C (Control, Cool and Contain). “Control” terkait dengan bagaimana mengoperasikan reactor sehingga tidak terjadi eksursi (peningkatan yang tajam) energi. ”Cool” berkaitan dengan upaya untuk selalu mendinginkan bahan bakar, dan “Contain” terkait dengan upaya untuk menjaga agar bahan radioaktif tetap berada di dalam reactor. Selama ketiga aspek ini masih berfungsi dengan baik, maka pelepasan radioaktivitas ke lingkungan adalah sangat minimal.


Perlu diingat bahwa ketiga aspek tersebut bisa dianggap sebagai lapisan pertahanan. Jika reaktor tidak bisa dikendalikan (aspek Control), maka ada sistem proteksi yang membuat reaktor padam dan sistem pendinginan yang selalu mendinginkan bahan bakar (aspek Cool). Jika sistem pendinginan tidak berfungsi, maka masih ada pengungkung reaktor yang terbuat dari baja dan bangunan reaktor yang akan mencegah lepasnya bahan radioaktif ke lingkungan (aspek Contain)
Lalu bagaimana kaitannya dengan yang terjadi di Fukushima? Seperti telah diketahui, semuanya berawal dari gempa dan kemudian tsunami. Ketika gempa terjadi, sistem proteksi segera berfungsi yang kemudian memadamkan reaktor. Ini salah satu fitur yang perlu diacungi jempol.


Pada saat itu, di dalam reaktor sudah tidak ada reaksi fisi. Akan tetapi masih ada energi dari peluruhan radioaktivitas, seperti yang saya sebutkan di atas. Pada saat reaktor padam, masih ada 7% dari 1533 MW dari peluruhan, atau sebesar 107 MW. Sebagai perbandingan, daya di reaktor GA Siwabessy di Serpong sebesar 30 MW. Dalam kondisi semacam ini maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS (Residual Heat Removal System) akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara AKTIF. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik. Sistem ini kenyataannya berfungsi.


Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Dalam jargon nuklir, situasi ini dikenal dengan istilah LOFA (Loss-of-Flow Accident), yaitu air pendingin tetap ada tetapi tidak mengalir. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin.


Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar.


Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Di sinilah pentingnya aspek ”Contain”. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam Zirkonium). Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.


Zr + 2 H2O –> ZrO2 + 2 H2


Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen.


Oleh karena itu, tekanan di dalam reaktor akan semakin meningkat (pressurization). Tekanan yang terlalu besar akan membahayakan integritas struktur reaktor. Oleh karena itu, operator Fukushima melakukan venting, atau membuka PRV (pressure relieve valve, katup penurun tekanan) dengan harapan tekanan di reaktor berkurang. Dengan proses venting ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton).


İmage
Ilustrasi PLTN Fukushima I unit 1 (sumber : Tehnik Fisika UGM)


Sampai saat ini belum jelas apa yang terjadi sebenarnya, akan tetapi dugaan saya hidrogen yang terakumulasi tersebut mengalami reaksi dengan oksigen dan terjadi apa yang disebut dengan hydrogen explosion. Inilah yang menyebabkan ”meledaknya” bangunan Fukushima 1 unit 1.




Berdasarkan press conference yang diadakan oleh pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pengungkung reaktor masih aman dan tingkat radioaktivitas menurun. Oleh karena itu saya menduga:
Tidak ada core melt.


Mengingat peristiwa ini berlangsung sekitar 1 hari setelah gempa, maka panas peluruhan telah berkurang dari 7% menjadi 0,5% atau sekitar 7,5 MW.


2. Pelepasan radioaktivitas ke lingkungan sangat minimal karena pengungkung masih utuh dan hydrogen explosion terjadi di ruangan antara pengungkung dan bangunan reaktor


3. Saya ulangi lagi di sini:
Sistem proteksi berfungsi, terbukti reaktor padam ketika gempa terjadi.
Sistem RHR juga berfungsi, sampai dengan 1 jam ketika tsunami melanda. Panas peluruhan telah turun menjadi 2% atau 31 MW. Kejadian ini dapat dihindari seandainya sistem RHR menggunakan sistem PASIF, yang artinya untuk mendinginkan reaktor tidak lagi mengandalkan pompa, melainkan dengan memanfaatkan perpindahan panas konveksi alami. Dengan demikian, seandainya benar-benar terjadi station blackout, maka proses pendinginan tetap berlangsung.


PLTN-PLTN generasi baru (gen III, dst) yang akan dibangun di beberapa negara (termasuk Indonesia???) sudah menggunakan sistem pasif ini.
Sistem pengungkung berfungsi, mengingat ledakan yang terjadi tidak mengganggu fungsi dan struktur pengungkung.


Dengan demikian aspek 3C (Control, Cool dan Contain) tetap berfungsi, meskipun dalam kondisi gempa yang parah. Akibatnya pelepasan radioaktivitas ke lingkungan adalah minimal.
sumber:tf.ugm.ac.id/?p=2852

Tidak ada komentar:

Posting Komentar